Rabu, 07 Juli 2010

konawe empire

Jaman Kerajaan

Seperti daerah-daerah lainnya di Indonesia, Sulawesi Tenggara memiliki perjalanan sejarah yang panjang dan tidak dapat dilepaskan dari sejarah Indonesia secara keseluruhan.Tonggak terpenting dalam sejarah Sulawesi Tenggara pada abad ke 10 Suku Konawe mendirikan sebuah kerajaan yang terkenal yaitu Kerajaan Konawe yang diikuti oleh beberapa Kerajaan di Sulawesi Tenggara.

Tonggak terpenting dalam sejarah daerah Sulawesi Tenggara tercatat pada abad ke-10, yaitu sejak Suku Konawe mendirikan sebuah kerajaan yang cukup tersohor. Namanya Kerajaan Konawe, diambil dari nama suku mereka. Kerajaan Konawe didirikan oleh Totonggano Wonua, keturunan Mokole Pangguni, di Unaaha. Kerajaan ini menganut sistem pemerintahan yang cukup modern, paling tidak, untuk ukuran pada zaman itu. Pemerintahannya demokratis dan tertib -- mempunyai perdana menteri, pejabat daerah, dan para pengendali keamanan.

Sebagai daerah yang sangat strategis bagi pelayaran, Sulawesi Tenggara berkembang cukup pesat. Sejumlah kerajaan kemudian bermunculan. Kerajaan-kerajaan tersebut antara lain: Kerajaan (Kesultanan) Buton, Kerajaan Muna (Wuna) dan Kerajaan Kemongga (yang satu keturunan dengan kerajaan Konawe). Ada pula kerajaan-kerajaan lainnya yang lebih kecil, seperti Kerajaan Tiworo, Kerajaan Kalisusu, dan Kerajaan Moronene. Kerajaan-kerajan tersebut saling berhubungan satu dengan yang lainnya melalui ikatan perkawinan. Ikatan ini selanjutnya menumbuhkan suatu keluarga besar Sulawesi Tenggara yang telah sedemikian menyatu, walaupun memiliki latar belakang budaya yang berbeda dan bahasa yang berbeda pula.

Dalam silsilah raja-raja di Sulawesi Tenggara terungkap bahwa para penguasa kerajaan-kerajaan Konawe, Muna, Buton, dan Mekongga juga mempunyai hubungan kekeluargaan dengan para penguasa Kerajaan Luwu dan Bone di Sulawesi Selatan. Bahkan diakui pula bahwa raja pertama dari kerajaan di Sulawesi Tenggara adalah dari keluarga Sawerigading. Dalam pertumbuhan masyarakatnya, kerajaan-kerajaan di Sulawesi Tenggara banyak berhubungan dengan Ternate. Maka tidak mengherankan jika Ternate sebagai kerajaan yang lebih kuat mempunyai pengaruh tertentu atas wilayah Sulawesi Tenggara. Pengaruh Ternate terhadap Kerajaan Muna dan Kesultanan Buton begitu besar. Bahkan Kesultanan Buton menjadi pintu gerbang penyebaran agama Islam dari Ternate ke kawasan Sulawesi Tenggara. Penyebaran agama tersebut berlangsung sekitar pertengahan abad ke-16. Kebiasaan dan kegemaran bertanam rempah-rempah di Ternate juga diikuti oleh masyarakat petani di Buton, sehingga tidak lama kemudian pulau penghasil yang terkenal dengan aspalnya ini menjadi penghasil rempah-rempah terbesar sesudah Ternate (Maluku).

Wilayah Kesultanan Buton yang merupakan pintu masuk ke sumber rempah-rempah terbesar di Maluku, bagi pelayaran Belanda dari Batavia sangat diperhitungkan pengaruhnya oleh kekuatan-kekuatan luar. Daya tarik BUton ini segera mengundang persaingan keras antara Belanda (VOC) dan Kerajaan Goa yang mengklaim sebagai pemegang hegemoni pelayaran di bagian timur Nusantara. Usaha Keras VOC untuk memaksakan monopoli perdagangan pada abad ke-17 menimbulkan perlawanan rakyat terhadap imperialisme di seluruh Sulawesi Tenggara.





Jaman Pendudukan Belanda

Bangsa Belanda menginjakkan kaki untuk pertama kalinya di daratan Buton pada tanggal
5 Januari 1613. Peristiwa ini ditandai dengan kunjungan Komodor Afolonius Schot di Kerajaan Sultan Buton pada masa pemerintahan Sultan Buton IV Danayu Ikhasanuddin (1597 - 1631). Seperti halnya bangsa Spanyol dan Portugis yang datang ke Buton seabad lebih dahulu, bangsa Belanda pun mempunyai tujuan untuk berdagang.

Namun tidak lama sejak hubungan perdagangan terjalin, Belanda segera menunjukkan gelagatnya untuk menguasai Buton. Gelagat buruk itu menyadarkan Sultan Ikhasanuddin tentang perlunya untuk segera memperkuat pertahanannya. Benteng Keraton Buton dan beberapa kubu pertahanan rakyat di wilayah kesultanan langsung dibangun. Pertahanan rakyat yang dulu hanya terdiri dari tirai-tirai bambu berduri, sejak itu ditingkatkan menjadi benteng-benteng yang kukuh untuk menghadapai serangan bangsaBelanda yang bersenjata api. Melihat tantangan ini Belanda meninggalkan Buton pada tahun 1616. Namun beberapa tahun kemudian kembali lagi dan mulai memaksakan penguasaan atas kesultanan tersebut dengan kekerasan. Perlawanan rakyat Buton yang terus-menerus menyebabkan Belanda tidak pernah menetap di Buton sebagai penguasa atas pulau tersebut.

Seperti yang terjadi di Kesultanan Buton, di daerah-daerah lainnya di Sulawesi Tenggara perlawanan menentang penjajahan cukup merepotkan Belanda. Untuk menguasai Kerajaan Konawe, misalnya, Belanda harus menunggu-nunggu sampai awal abad ke-21. Kerajaan Konawe, kini sebagian besar wilayahnya masuk dalam Kabupaten Dati II Kendari, mulai melemah sejak ditinggalkan rajanya yang bernama Lakidende. Dia merupakan pelopor penyesuaian adat dengan ajaran Islam, sehingga ajaran Islam kemudian menjadi bagian hidup dari sebagian besar masyarakat Sulawesi Tenggara. Sesudah Raja Lakidende wafat, situasi dalam negeri dan pemerintahan Kerajaan Konawe mengalami keadaan yang paling lemah karena para anggota Dewan Kerajaan yang terdiri dari kaum bangsawan yang juga menjadi kepala-kepala pemerintahan daerah otonomi dalam wilayah Kerajaan Konawe tidak bisa memilih pengganti Lakidende.

Sidang-sidang Dewan Kerajaan selalu gagal menentukan siapa calon raja. Walaupun demikian kevakuman di tahta Konawe tidak lantas membuat kerajaan runtuh, sebab para bangsawan tersebut sebagai penguasa daerah tetap bersatu. Bahkan ketika salah satu seorang anggota Dewan dari daerah Ranome Eto, yang bernama Tebau, mengangkat diri sebagai raja baru, Kerajaan Konawe tetap stabil. Jiwa demokratis yang telah menjadi tradisi Konawe sejak beberapa abad yang lampau mendorong Tebau untuk mundur teratur setelah para anggota Dewan dan rakyat yang diwakili menyatakan tidak setuju.

Setelah Tebau meninggal, pada tahun 1858 putranya yang bernama La Mangu mengadakan perjanjian dengan A.A. Vreis yang mewakili Gubernur Jenderal Hindia Belanda. Perjanjian ini menyangkut pembentukkan Kerajaan Laiwoi yang lepas dari Kerajaan Konawe. Lahirnya kerajaan baru ini, yang wilayahnya meliputi daerah Ranoma Eto, sangat dirahasiakan. Maka praktis La Mangu hanya menjadi raja di atas kertas. Pihak Belanda berpendapat bahwa Kerajaan Laiwoi tidak mungkin diwujudkan sebelum kerajaan-kerajaan Gowa, Bone, Luwu, dan Buton ditaklukkan. Namun untuk menaklukkan kerajaan-kerajaan tersebut juga hampir mustahil karena jelas-jelas mereka bersatu dalam menentang penjajahan. Sama mustahilnya adalah menundukkan Konawe secara langsung, sebab sistem pertahanan kerajaan ini sudah dilengkapi dengan persenjataan yang diperoleh dari perdagangan dengan Spanyol dan Portugis, jauh sebelum Belanda datang. Jalan yang paling mungkin adalah diplomasi. Melalui La Mangu, utusan Belanda berhasil mendekati beberapa bangsawan Konawe. Dari sini lahirlah Perundingan Malowe pada tahun 1909.

Perundingan di Bandar Malowe ini menghasilkan penculikan beberapa tokoh terkemuka Kerajaan Konawe oleh Belanda -- suatu tindakan yang kemudian mencetuskan Perang Puundombi. Setelah melalui pertempuran yang menelan banyak korban di kedua belah pihak, Konawe akhirnya jatuh dan Belanda segera mewujudkan kerajaan bonekanya -- Kerajaan Laiwoi. Setelah penaklukkan tersebut, Belanda melakukan operasi sapu bersih. Dengan tipu muslihat, Belanda berhasil menangkap Watukila (Panglima Una) sebagai panglima tertinggi Angkatan Perang Konawe. Watukila bersana sejumlah perwiranya kemudian dibuang ke Makassar. Belanda menduga ditawannya Watukila bersama pasukannya akan mengakhiri perlawanan rakyat Konawe dan dengan begitu tamat pula riwayat Kerajaan Konawe. Pihak Belanda segera mewujudkan rencana lamanya untuk membentuk pemerintahan Kerajaan Laiwoi yang beribukotakan Kendari. Mereka yang tidak mengakui dan tidak tunduk kepada penguasa Kerajaan Laiwoi dan Belanda diancam akan ditangkap dan dipenjarakan. Bahkan Belanda juga mengancam akan menjatuhkan hukuman tembak mati terhadap mereka yang membangkang.

Sementara itu untuk menunjukkan niat baik Belanda kepada rakyat Konawe, Karaeng Watukila dan rekan-rekannya kemudian dipulangkan dari tempat pembuangannya di Makassar. Belanda juga kemudian mengatur suatu "perkawinan politis" antara Watukila dengan putri Raja Laiwoi II Soa-Soa. Tujuan dari perkawinan ini adalah untuk membuka jalan bagi suatu kerja sama antara tokoh tersebut dengan para penguasa baru di kerajaan boneka Belanda. namun perkawinan tersebut tidak meredakan situasi politik si Sulawesi Tenggara. Gerakan menentang Belanda bahkan meluas ke daerah-daerah lainnya, terutama di bagian selatan Konawe. Di Manumohewu, rakyat telah mempersiapkan kantong-kantong perlawanan di bawah pimpinan seorang tamalaki (perwira) bernama Lapadi, yang dibantu oleh putrinya. Perlawanan Lapadi dimulai pada tahun 1908 dan berakhir pada tahun 1910, ketika dia tertangkap dalam suatu tipu muslihat yang dilancarkan oleh Belanda. Lapadi berhasil meloloskan diri dari penjara Kendari dan kembali menyusun barisan perlawanan. Namun pada tahun 1911 benteng pertahanannya dihancurkan oleh Belanda. Lapadi sendiri berhasil meloloskan diri dan bertualang sendiri di gunung-gunung sampai ia meninggal empat tahun kemudian akibat sakit.

Kematian tokoh-tokoh terpenting dalam gerakan perlawanan rakyat Konawe tidak membuat peperangan menentang penjajahan berhenti. Di berbagai pelosok Sulawesi Tenggara rakyat terus mengangkat senjata. Pada tahun 1917 Belanda berhasil menerapkan perjanjian Langeverklaring dengan bangsawan-bangsawan Konawe dan sejak saat itu Belanda mencampuri secara langsung urusan kerajaan. Ketika Takaka dilantik menjadi raja Laiwoi pada tahun 1934, sistem pemerintahan ini disesuaikan dengan tata pemerintahan kolonial. Keadaan ini berlangsung sampai Jepang mendarat di Kendari pada tanggal 24 Januari 1942 dan mengambil alih kekuasaan Belanda.

4 komentar:

  1. sy berharap referensi ini bisa mmberi tman2 muda mudi konawe akan sebuah gambaran dasar tentang sejarah tanah konawe

    BalasHapus
  2. tambahan..
    kata almarhum kakek saya yang ehem seorang pejuang alias heiho alis tentara peta bercerita waktu itu sao sao pergi memancing waktu belanda menyerang..jiah
    seantero orang tolaki dgn berbekal elmu menghilang sawu sawu rondo dengan sedikit elmu pemantul pelor mau menyerang tapi sang penguasa alias raja alias the king of motherfuckershit melarang penyerangan tsb dikarenakan tidak lain (anaknya telah dinikahkan oleh kompeni!!)

    BalasHapus
  3. Mohon penulisan raja konawe ato laiwoi dalam penamaan yang benar adalah sao-sao,bukan soa-soa.dan nama daerah penulisan nama daerah yang benar adalah ranomeeto,bukan ronama eto seperti model penulisan anda.
    Dan kentara sekali anda bukan orang tolaki,dan tulisan anda kentara di copy paste.dan ceritanya berbau versi Muna.

    BalasHapus
  4. Ternyata di sulawesi tenggara juga pernah berdiri kerajaan besar,,,luar biasa

    BalasHapus